Sriwijayatimes id OKU Timur, – Patung pengantin di Taman Simpang Empat Martapura, OKU Timur, Sumatera Selatan yang dibangun menggunakan APBD dengan pagu anggaran Rp. 1.500.000.000, menuai kritik dari masyarakat dan tokoh budaya dan adat karena tidak mencerminkan budaya asli daerah komering.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Kebijakan Publik Universitas Terbuka Palembang, DR Meita Istianda, S.I.P, M.Si menyebut, apa pun kegiatan yang jika pendanaannya bersumber dari APBD, harus terlebih dulu mempertimbangkan pendapat rakyat.
“Dari perspektif politik kebijakan publik, apa pun kegiatan yang jika pendanaannya bersumber dari APBD, Pendapat rakyat bisa direpresentasikan melalui DPRD atau melakukan kajian terlebih dulu dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat, seperti tokoh-tokoh adat, budayawan, sejarahwan, juga akademisi. Sehingga ketika gagasan itu diimplementasikan, minim masalah”, katanya saat dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, Sabtu (2/3/2024).
DR. Meita menjelaskan bahwa Icon daerah/kota itu harus dapat merepresentasikan nilai-nilai filosofi dari daerah/kota itu.
“Jika icon itu tidak merepresentasikan nilai-nilai filosofi daerah itu dan dipaksakan tetap ada atau berdiri, akan berpotensi membenarkan sesuatu yang mungkin keliru. Masyarakat yang tidak paham, masyarakat pendatang dan para tamu daerah akan terdogma oleh icon itu, bahwa itulah adat/budaya daerah itu”, jelasnya.
Dia juga menambahkan bahwa itu ada solusinya, yaitu lakukan kajian untuk merevisi yang melibatkan seluruh stakeholder yang ada.
“Kalau tidak salah, ada kejadian juga terkait pembangunan patung di Banyuasin. Patung Soekarno yang diprotes masyarakat karena dianggap tidak mirip. Akhirnya patung tersebut ditutup dulu dan dilakukan perbaikan, ujarnya.
Saat dikonfirmasi mengenai bagaimana seharusnya pendekatan yang digunakan dalam perencanaan pembangunan daerah, khususnya dalam membangun icon daerah yang menonjolkan budaya dan adat setempat, DR Meita menjelaskan bahwa harus dilakukan pendekatan yang komprehensif dengan melibatkan sebanyak mungkin unsur-unsur masyarakat.
“Di daerah kan ada Bapeda ya. Saya rasa mereka sudah ada mekanisme bagaimana merencanakan, mengimplementasikan, sampai pada evaluasi. Hanya masalahnya, ketika akan membangun sesuatu yang sifatnya kental dengan budaya dan adat, mereka harus melakukan pendekatan yang komprehensif dengan melibatkan sebanyak mungkin unsur-unsur masyarakat seperti tokoh adat, budayawan, sejarahwan dan tokoh-tokoh lainnya,” terangnya.
Pertanyaannya, apakah pendekatan dan kajian itu dilakukan? Apakah dilakukan secara terbuka juga dengan mengundang mereka diskusi misalnya? Kalau tidak, mungkin minusnya di situ.
Dia juga berharap masyarakat OKU Timur harus jadi masyarakat yang cerdas dan kritis untuk kebenaran juga kemajuan OKU Timur.
“OKU Timur, masyarakatnya harus jadi masyarakat yang cerdas dan kritis untuk kebenaran juga kemajuan daerahnya. Kalau tidak akan begitu-begitu saja. Dan harus dimulai dari jajaran pemerintahannya”, pungkasnya. (Rls /Iwo)